Gema – Kita mendengar nama Erick disebut dalam sebuah konferensi pers kandidat presiden tanggal 7 September kemarin. Seorang dengan talenta luar biasa ditunjuk oleh kubu Jokowi sebagai ketua tim pemenangan. Apa keistimewaan sosok yang lebih dikenal sebagai pebisnis ini? Mampukah ia menerjemahkan visi bisnis ke dalam dunia politik yang unpredictable?
Seorang ketua tim sukses, harus punya riwayat sukses. Kira-kira begitu rumusan sederhananya. Nah, kini Erick sudah menunjukkan kapasitasnya sebagai ketua penyelenggara even sekelas Asia, yang sukses mengangkat citra Indonesia. Asian Games dibawah komando Erick adalah wujud energy Asia yang membuka mata dunia.
Dikaitakan dengan PSSI
Sebelum sukses dengan Asian Games 2018, nama Erick Tohir menjadi perbincangan luas saat mengambilalih kepemilikan Inter Milan dari Moratti, 2013 silam. Orang Indonesia pertama yang berhasil masuk ke dalam bisnis sepak bola sekelas Seri A. Sebelumnya, kita mendengar Taksin Sinawatra, mantan Raja Thailand, orang Asia Tenggara pertama yang mengambil bagian dari panasnya Liga Inggris saat membeli saham Manchester City. Butuh keberanian tersendiri terlibat dalam pertarungan bisnis Liga Italia yang dikenal sebagai sarang mafia.
Berkat keberaniannya membeli Nerazzuri yang baginya mungkin hanya sebuah keputusan bisnis, Erick Tohir mulai dikenal sebagai pebisnis yang punya visi. Namanya sering dikaitkan dengan perbaikan dalam struktur PSSI. Orang berandai, jika saja PSSI dikelola oleh seorang dengan visi, bukan tidak mungkin Indonesia segera menatap Piala Dunia.
Tapi, PSSI sepeninggal Nurdin Halid, belum menunjukkan perubahan berarti. Lepas dari sanksi FIFA, kenyataannya lembaga pengelola sepak bola nasional ini pun belum mampu beranjak dari manajemen yang buruk. Anda bisa bayangkan, bagaimana seorang mantan Panglima TNI mampu menangani organisasi sepak bola sebesar PSSI? Masuknya tentara dan polisi menjadi bagian dari liga professional adalah bukti nyata, sepak bola kita memang sedang sakit parah. Sayangnya, mungkin hanya sedikit yang menyadarinya, alih-alih melakukan protes.
Energi Indonesia
Kembali ke Eric. Bagaimana ia berhasil masuk ke dalam pantauan Jokowi? Atau bisa juga pertanyaannya di balik, bagaimana Jokowi mampu menemukan talenta sekaligus bergabung ke dalam timnya? Ibarat kata, mereka bertemu laiknya jodoh yang telah lama saling mencari. Jokowi yang sukses masuk ke dalam deretan pemimpin berpangaruh dunia, bukan hanya karena keberhasilannya menggenjot pembangunan, tapi ia mampu masuk ke dalam ranah milenial, sebuah ruang yang isinya adalah perubahan yang cepat.
Jokowi milenal? Ya, dan salah satu kuncinya adalah dia tidak bekerja sendiri. Ia seperti dianugerahi orang-orang yang punya dedikasi dan talenta di bidangnya masing-masing. Meski dalam perjalanannya, ada yang pergi dan gagal, justru itu menunjuk sisi lain dari proses transformasi, akan ada orang yang terseleksi, cepat atau lambat. Setidaknya, tuduhan bahwa Jokowi bagi-bagi kekuasaan, dengan sendirinya akan menguap. Seseorang mungkin dijatah menteri, tapi, jika dia tidak bersih, maka tak butuh waktu lama karirnya akan selesai. Tak jujur bekerja sama dengan Jokowi, kelar hidup lo…
Ya, Jokowi telah berhasil mencitrakan diri sebagai pemimpin mileneal, sekaligus mengenalkan kepada kita bahwa kini adalah era mileneal. Memilih Erick tentu bukan karena pertimbangan ‘muda’. Dalam skuadnya, Jokowi memiliki sosok yang sudah tua namun kinerja mereka adalah yang terbaik. Dalam timnya, ada Ibu Susi yang mengurusi laut, Pak Basuki yang menggenjot infrastruktur, Ibu Retno yang menguatkan hubungan internasional, Ibu Sri Mulyani yang menguatkan pondasi keuangan negara.
Jelas, orang-orang hebat itu direkrut bukan karena tekanan atau pesanan politik. Mereka bukan pengurus partai tertentu. Mereka adalah energy Indonesia yang sedang terlibat dalam sebuah visi kerja, kerja, kerja.
Waktu yang tepat
Ada yang berasumsi, saat Jokowi memilih Erick, maka potensi kisruh koalisi partai pendukung yang memamg seringkali membuat pening, bisa menjadi jawaban. Sebagaimana keputusan memilih Ma’ruf Amin sebagai calon pendapingnya. Erick, sekali lagi menjadi jawaban atas keputusan-keputusan Jokowi yang tak terduga, bahwa langkah-langkah politiknya selalu tidak monotafsir. Ia menunjukkan gaya politik transformasional. Jokowi selalu menemukan amunisi-amunisi segar dalam setiap langkah-langkah politik yang ia tempuh.
Erick adalah amunisi baru yang memang menjadi sorotan. Bukan hanya karena ia telah membuktikan diri sebagai professional. Tapi, kelompok oposan memang patut waspada, jika Sandiaga yang selama ini berhasil dicitrakan sebagai pebisnis, maka Sandi sangat paham siapa Erick. Ia ada di dalam perusahaan media sekelas Jak Tv, TV One dan Republika.
Terlepas dari deretan perusahaan dan kesuksesan dalam penyelenggaraan even besar, Erick hanyalah satu sel dari arus besar yang sedang mengalir, politik transformasional. Dalam politik transformasional, peran-peran diisi oleh orang yang tepat dan di waktu yang tepat.
Jadi, kekuatiran kita oleh desakan politik transaksional kini sudah punya penangkal. Kini, hanya soal waktu politik kita akan bergerak lebih positif dan konstruktif. Kampanye rasis mungkin masih ada, biarlah itu tetap dikonsumsi oleh mereka yang memang tidak senang perubahan, mereka yang susah melihat orang lain senang.
Karena pada waktunya, politik transaksional akan ditinggalkan. Orang-orang akan memahami bahwa politik bukan soal identitas, bukan tentang mayoritas-minoritas, tapi ini tentang bagaimana bekerja dan mengambil peran bersama untuk menguatkan bangsa-negara.
Tinggalkan Balasan